Monday, November 7, 2016

DEBU SEBAGAI CAMPURAN DALAM MENSUCIKAN NAJIS MUGHOLADHOH




DEBU SEBAGAI CAMPURAN
DALAM MENSUCIKAN NAJIS MUGHOLADHOH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah. Shalat dan haji misalnya, tanpa bersuci orang yang hadats tidak dapat menunaikan ibadah tersebut.
Banyak orang mungkin tidak tahu bahwa sesungguhnya bersuci memiliki tata cara atau aturan yang harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, tidak akan sah bersucinya dan secara otomatis ibadah yang dikerjakan juga tidak sah. Terkadang ada problema ketika orang itu tidak menemukan air, maka Islam mempermudahkan orang tersebut untuk melakukan tayamum sebagai ganti dari mandi, yang mana alat bersucinya dengan mengunakan debu. Debu sendiri tidak hanya untuk tayammum, tetapi juga untuk campuran dalam membersihkan najis mugholadhoh.

B.     RUMUSAN MASALAH.
1.      Apa Pengertian Thaharoh?
2.      Apa pengertian debu?
3.      Debu sebagai campuran dalam mensucikan najis mugholadhoh?



BAB II
PEMBAHASAN

       A. Pengertian Tharoh.
Thaharah adalah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal ibadah, terutama dalam shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats kecil maupun bersuci dari hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang salah satu syaratnya, maka amal ibadah itu kurang sempurna sahnya.
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih”.[1] Dalam Hadits Pilihan Shahih Bukahri, thaharah artinya bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah secara terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.[2]
Sedangkan menurut istilah, thaharah berarti membersihkan diri dari hadats dan najis.[3] Yaitu mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Menurut istilah para ulama Ahli Tasawuf ialah membersihkan diri dari segala perbuatan yang dilarang oleh Syara’ atau dari perbuatan yang akan menimbulkan dosa dan dari budi pekerti yang buruk atau perangai yang jahat. Sedangkan menurut istilah ulama Fikih ialah membersihkan diri dari najis dan hadas.[4]
Begitulah pentingnya thaharah (bersuci) bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwasannya kebersihan adalah sebagian daripada iman. Namun banyak ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah:
a.       Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
b.      Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah shalat. Jadi bersuci itu separuh dari shalat. Shalat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.[5]

     B.  DEBU
Debu atau Dust adalah partikel padat yang berukuran sangat kecil yang dibawa oleh udara. Partikel-partikel kecil ini dibentuk oleh suatu proses disintegrasi atau fraktur seperti penggilingan, penghancuran atau pemukulan terhadap benda padat. Mine Safety and Health Administration (MSHA) mendefinisikan debu sebagai padatan halus yang tersuspensi diudara (airbone) yang tidak mengalami perubahan secara kimia ataupun fisika dari bahan padatan aslinya.
Ukuran partikel debu yang dihasilkan dari suatu proses sangatlah bervariasi, mulai dari yang tidak bisa terlihat dengan mata telanjang sampai pada ukuran yang terlihat dengan mata telanjang. Ukuran partikel yang besar akan tertinggal pada permukaan benda atau turun kebawah (menetap sementara diudara) dan ukuran partikel yang kecil akan terbang atau tersuspensi diudara. Debu umumnya dalam ukuran micron, sebagai pembanding ukuran rambut adalah 50-70 micron.[6]
Penyucian dalam hukum Islam itu unik. Selain dengan air, debu bisa digunakan untuk bersuci. Debu yang mudah didapatkan bisa menjadi alternatif kedua setelah air. Selain debu, hukum Islam tidak memiliki alternatif yang lain. Hal ini berbeda dengan kebiasaan masyarakat modern yang menganggap debu sebagai sesuatu yang kotor –kita harus membedakan antara kotor dan najis. Dalam hukum Islam, debu digunakan untuk tayammum: pengganti wudlu karena tidak ada air. Menyucikan najis berat (al-mughalazhah) karena menyentuh anjing atau babi dengan menggunakan debu ditanbah enam kali basuhan air. Hamparan tanah yang diyakini tidak terkena najis juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat shalat.[7]

C.    Apakah sabun dapat menggantikan debu untuk menghilangkan najis mugholadhoh? 
         Najis mugholadoh adalah Najis pada Hewan anjing dan Babi, liurnya, ingusnya, keringatnya, dan apa-apa yang dijadikan/dilahirkan dari anjing dan babi atau dari salah satu dari keduanya, meskipun dari hewan yang suci (maksudnya disini anjing dan babi diternakkan dengan hewan lain).
cara menghilangkan najis mugholadhoh yaitu dengan cara membasuh pada bagian yang terkena najis tujuh kali dengan air yang suci salah satu dari ketujuh basuhan dengan menggunakan debu yang suci setelah wujud dari najis tersebut hilang.
Di zaman sekarang sudah banyak kita temukan bahan – bahan seperti sabun atau deterjen yang dapat membersihkan sesuatu yang terkena najis. Kemudian, apakah sabun dan deterjen tersebut mampu menggantikan peran debu sebagai campuran untuk membersihkan najis mugholadhoh?
Menurut pendapat yang dhahir tidak dapat mengganti, menurut pendapat lainnya bisa mengganti.
روضة الطالبين وعمدة المفتين ج 1 - الصفحة 32النوويولا يقوم الصابون والإشنان ونحوهما مقام التراب على الأظهر كالتيمم ويقوم في الثاني كالدباغ والاستنجاء والثالث إن وجد ترابا لم يقم وإلا قام وقيل يقوم فيما يفسده التراب كالثياب دون الأواني

“Sabun dan alat pembersih selainnya tidak dapat mengganti kedudukan debu menurut pendapat yang paling dzahir sebagaimana dalam tayammum, menurut pendapat kedua “bisa mengganti seperti dalam bahasan menyamak dan istinjak”, menurut pendapat ketiga “bila ditemukan debu, bila tidak ditemukan bisa mengganti”, menurut pendapat lain “bisa mengganti dalam perkara yang rusak bila dibersihkan dengan debu seperti pakaian tidak seperti dalam sejenis perkakas”.
Raudhah at-Thoolibiin I/32

الكتاب : تحفة الحبيب على شرح الخطيب ( البجيرمي على الخطيب ) ج 1 الصفحة 491المؤلف : سليمان بن محمد بن عمر البجيرمي الشافعي دار النشر : دار الكتب العلمية – بيروت/ لبنان – 1417هـ -1996مقوله : ( ويتعين التراب ) راجع لقول المصنف بتراب ق ل .قوله : ( جمعاً بين نوعي الطهور ) أشار بذلك إلى أنه لا مدخل للقياس هنا أي : فلا يكفي الصابون والأشنان ونحو ذلك ، لأنه ليس من نوعي الطهور أي فلا يصح قياسه هنا ، وأما ما تقدم من الدبغ من أنه قيس فيه كل شيء حريف ، فإنه لم تذكر فيه هذه العلة وهي قوله جمعاً بين نوعي الطهور فتأمل . قوله ( كأشنان ) بضم الهمزة وكسرها لغة مصباح وهو الغاسول

“Maka tidak cukup disucikan dengan menggunakan Sabun dan alat pembersih selainnya karena ia bukan jenis dua hal yang dilegalkan oleh syara’ dalam bahasan thaharah (air dan debu) maka tidak boleh menganalogkannya dalam masalah ini, sedang dalam bahasan lalu dimana diperbolehkan menggunakan dan mengqiyaskan sabun dalam menyamak karena yang dipentingkan dalam menyamak adalah setiap hal yang dapat menghilangkan lender-lendir pada kulit”Tuhfah al-Habiib I/491

الكتاب : فتح العزير بشرح الوجيز = الشرح الكبير ج 1 – الصفحة 260-262المؤلف : عبد الكريم بن محمد الرافعي القزويني (المتوفى : 623هـ)هل يقوم الصابون والاشنان مقام التراب فيه ثلاثة أقوال أظهرها لا: لظاهر الخبر ولانها طهارة متعلقة فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم والثاني نعم كالدباغ يقوم فيه غير الشب والقرظ مقامهما وكالاستنجاء يقوم فيه غير الحجارة مقامها. الثالث أن وجد التراب لم يعدل إلى غيره وان لم يجده جاز اقامة غيره مقامه للضرورة ومنهم من قال يجوز اقامة غير التراب مقامه فيما يفسد باستعمال التراب فيه كالثياب ولا يجوز فيما لا يفسد كالاواني

“Apakah sabun dan alat pembersih selainnya dapat mengganti kedudukan debu ?Terdapat tiga pendapat dalam hal ini :
1.      Tidak, bila melihat dzahirnya hadits dan karena ini adalah tahaharah yang saling berkaitan maka tidak dapat diganti selainnya seperti halnya tayammum
2.      Dapat mengganti, seperti dalam bahasan menyamak yang bisa diganti oleh selain tawas dan Qardh (daun pohon yg digunakan menyamak) dan dalam bahasan istinjak yang boleh memakai selain batu
3.      Bila ditemukan debu tidak boleh beralih pada lainnya, bila tidak ditemukan bisa selain debu (seperti halnya sabun ) mengganti kedudukannya4. Menurut pendapat lain “bisa mengganti dalam perkara yang rusak bila dibersihkan dengan debu seperti pakaian tidak seperti dalam sejenis perkakas”.[8]



BAB II
KESIMPULAN

Thaharah menurut bahasa artinya “bersih”.[9] Dalam Hadits Pilihan Shahih Bukahri, thaharah artinya bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah secara terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Debu atau Dust adalah partikel padat yang berukuran sangat kecil yang dibawa oleh udara. Partikel-partikel kecil ini dibentuk oleh suatu proses disintegrasi atau fraktur seperti penggilingan, penghancuran atau pemukulan terhadap benda padat.
“Apakah sabun dan alat pembersih selainnya dapat mengganti kedudukan debu ?Terdapat tiga pendapat dalam hal ini :
4.      Tidak, bila melihat dzahirnya hadits dan karena ini adalah tahaharah yang saling berkaitan maka tidak dapat diganti selainnya seperti halnya tayammum
5.      Dapat mengganti, seperti dalam bahasan menyamak yang bisa diganti oleh selain tawas dan Qardh (daun pohon yg digunakan menyamak) dan dalam bahasan istinjak yang boleh memakai selain batu
6.      Bila ditemukan debu tidak boleh beralih pada lainnya, bila tidak ditemukan bisa selain debu (seperti halnya sabun ) mengganti kedudukannya4. Menurut pendapat lain “bisa mengganti dalam perkara yang rusak bila dibersihkan dengan debu seperti pakaian tidak seperti dalam sejenis perkakas”.[10]







DAFTAR PUSTAKA

Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap (Semarang: CV. Toha Putra, 1978)
Terj. Labib Mz, Hadits Pilihan Shahih Bukhari, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005)
Hafsah, Fiqh (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011)
Tim Penyusun Fak. Tarbiyah, Buku Ajar Praktik Ibadah (IAIN SU, 2012)
Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam, Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh   Hafizhohulloh (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya), Hadits ke-23.






[1] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), h.46.
[2] Terj. Labib Mz, Hadits Pilihan Shahih Bukhari, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005), h.71.
[3] Hafsah, Fiqh (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 1.
[4] Tim Penyusun Fak. Tarbiyah, Buku Ajar Praktik Ibadah (IAIN SU, 2012), h. 17.
[5]Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam, Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh   Hafizhohulloh (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya), Hadits ke-23.
[9] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), h.46.

Saturday, October 22, 2016

PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM



PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
        Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumber-sumbernya sendiri sebagai pedoman dan pelaksanaannya. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang lebih baik, sejahtera lahir dan batin.
        Untuk itu kita sebagai umat Islam yang taat harus mengetahui sumber-sumber ajaran Islam yang ada, serta mengetahui isi kandunganya. Namun sumber-sumber tersebut tidak hanya di jadikan sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.[1]
        Petunjuk-petunjuk agama yang mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat dalam sumber ajarannya, yaitu Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam pertama dan Hadist merupakan sumber yang kedua, tampak ideal dan agung. Ditambah lagi dengan berbagai pemikiran-pemikiran ulama’ tentang hukum-hukum yang masih global di pembahasan Al-Qur’an dan Hadist.
             
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pengertian Agama Islam?
2.      Bagaimana Sumber Ajaran Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Agama Islam
a.        Etimologis
Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. 2:112).

Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya[2].
Hal senada dikemukakan Hammudah Abdalati[3]. Menurutnya, kata “Islam” berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin, Lam, Mim) yang berarti kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan. Dalam pengertian religius, menurut Abdalati, pengertian Islam adalah "penyerahan diri kepada kehendak Tuhan dan ketundukkan atas hukum-Nya" (Submission to the Will of God and obedience to His Law).
Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius dari kata Islam adalah erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri kepada kehendak Allah SWT dan ketundukkan atas hukum-Nya, maka seseorang dapat mencapai kedamaian sejati dan menikmati kesucian abadi. Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata “Islam” setidaknya ada empat yang berkaitan satu sama lain. Dari ke-empat kata tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.      Aslama. Artinya menyerahkan diri. Orang yang masuk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT. Ia siap mematuhi ajaran-Nya.
2.      Salima. Artinya selamat. Orang yang memeluk Islam, hidupnya akan selamat. 
3.      Sallama. Artinya menyelamatkan orang lain. Seorang pemeluk Islam tidak hanya menyelematkan diri sendiri, tetapi juga harus menyelamatkan orang lain (tugas dakwah atau ‘amar ma’ruf nahyi munkar). 
4.      Salam. Aman, damai, sentosa. Kehidupan yang damai sentosa akan tercipta jika pemeluk Islam melaksanakan aslama dan sallama.

b.       Terminologis
Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan, Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau ke-Esaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Cukup banyak ahli dan ulama yang berusaha merumuskan definisi atau pengertian Islam secara terminologis. KH Endang Saifuddin Anshari[4] mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan pengertian Islam, bahwa agama Islam adalah:
v  Wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.
v  Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala peri kehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya.
v  Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
v  Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariatm dan akhlak.
v  Bersumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.

B.         Sumber Ajaran Islam
Sumber ajaran Islam dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu primer dan sekunder. Menurut Harun Nasution Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. [5]
Secara Istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari nabi Muhammad SAW.[6] Kemudian kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alqur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alqur’an dan Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT.

1. Sumber Ajaran Islam Primer
a. Alqur’an
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subni Shalih, Alqur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti isim al-maf’ul, yaitu maqru’ “yang dibaca” (alqur’an terjemahannya, 1990: 15). Pegertian ini merujuk pada sifat alqur’an yang difirmankan-Nya dalam alqur’an (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18), dalam ayat tersebut Allah berfirman.
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18).[7]
Kemudian secara istilah secara lengkap dikemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf. Menurutnya Al-qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadiakan hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rosulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat Al-nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan penggantian.[8]
Fungsi Al-Qur’an tersurat dalam nama-namanya adalah sebagaimana berikut;

1) Al-huda (petunjuk)
Dalam al-qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi alqur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, Alqur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alqur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” (Q.S. ai-Baqarah [2]: 185)
2) Al-furqan (pemisah)
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dan salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)...” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).
3) Al-Syifa (obat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada pada dada (mungkin disini yang dimaksud adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada...” (Q.S. Yunus [10]: 57).
4) Al-mau’izah (nasihat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 138



b. Al-Hadis
Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Selain didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat Alqur’an dan Hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat.[9] Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.[10]
Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah, al-khabar, dan al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut kebanyakan ulama’ hadis adalah sama dengan terminologi al-hadits meskipun ulama’ lain ada yang membedakannya.
Menurut ahli bahasa , al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar (beriata), dan al-qarib (dekat). Hadis dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat al-Thur (52) ayat 34. Surat al-Kahfi (18) ayat 6, dan surat al-Dhuha (93) ayat 11. Kemudian dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi antara ulama’ hadis dan ulama’ ushul fiqh terjadi berbeda pendapat. Menurut ulama’ hadits, arti hadits adalah :
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan , taqrir[11] maupun sifat. (Mahmud al-Thahan, 1985:15)”
Sedangkan ulama’ ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah.
“Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW yang berkaitan dengan penetapan hukum.”
Al-sunnah dalam pengertian etimologi adalah
“Jalan atau cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau jelek. (Nur al-‘ Athar, 1979: 27)”
Posisi dan fungsi hadits, Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun hadits. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi (lihat Jalal al-din Abd. Al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuti, th. 505)
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan Sunnah Rasul.
Hadits berfungsi merinci dan mengiterpretasi ayat-ayat al-qur’an yang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia pun berfungsi mengkhususkan (tahkhshish) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (‘am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafshil versi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga bayan tafsir. Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
2. Ijtihat sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder
a.       Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.[12]
Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad ialah:[13]
ﺒﺬﻝ ﺍﻟﻔﻗﻴﻪ ﻮﺴﻌﻪ ﻔﻰ ﺍﺴﺘﻨﺑﺎﻂ ﺍﻻﺤﻜﺎﻡ ﺍﻟﻌﻤﻟﻴﺔ ﻤﻦ ﺍﺩ ﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻟﻴﺔ
“Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.
Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’yi dan akal).[14]
Secara harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang arab telah mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi.[15]
b. Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan al-Sunnah. Diantara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q. S. al-Nisa : 105).
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. al-Rum : 21)
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
ﺍﺬﺍ ﺤﻜﻡ ﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﻔﺎﺼﺎﺐ ﻔﻟﻪ ﺍﺟﺮﺍﻦ ﺍﺬﺍ ﺤﻜﻡ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﺛﻡ ﺍﺨﻄﺄ ﻔﻟﻪ ﺍﺟﺮ ﻮﺍﺤﺪ
”Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala, akan tetapi jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (Muslim, II, t.th: 62) [16]

c. Syarat-syarat Mujtahid[17]
1) Mukalaf, karena hanya mukalaf yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya
3) Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.
d. Macam-macam Mujtahid[18]
1) Mujtahid Mutlak
Yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari al-Qur’an dan hadits, dan seringkali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan para imam yang empat.
2) Mujtahid Mazhab
Yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab dan tidak membentuk suatu mazhab tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat dengan imamnya.
3) Mujtahid fil Masa’il
Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu mazhab.
4) Mujtahid Muqaiyyad
Yaitu orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dan pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu, begitu pun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti.
e. Hukum Ijtihad
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ’ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan Muhaimin, dkk., 1994: 189)[19]







BAB III
SIMPULAN
Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, dimana agama Islam sendiri memiliki pedoman pokok atau sumber ajaran yang berupa kitab suci yang bernama Al-qur’an. Kemudian apabila dalam al-qur’an masih belum terperinci maka Sunnah/Al-hadits sebagai pedoman yang kedua. selanjutnya di dalam Islam juga dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang digunakan sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemui.
Sumber ajaran Islam primer yang terdiri dari Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an sendiri didalamnya terdapat  pokok isi utama yaitu, tauhid, ibadah, janji & ancaman, kisah umat terdahulu, berita tentang zaman yang akan datang, dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Di dalam Al-Qur’anpun terdapat komponen-komponen sumber ajaran Islam yaitu, hukum I’tiqodiyah, Amaliah, dan Khuluqiah. Sedangkan khusus hukum syara terdiri dari hukum Ibadah dan Muamalat.
Adapun di dalam hadits terdapat beberapa komponen yaitu, sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, sunnah taqririyah, dan sunnah hammiyah. Fungsi hadits sendiri adalah: Memperkuat hukum, memberikan rincian, memberi pengecualian, dan menetapkan hukum yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.[20]






DAFTAR PUSTAKA

Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1989
Hammudah Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications Indianapolis-Indiana, 1975
Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1
Abuddin Nata., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998)
Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)
Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984










[2] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1989, hlm. 56-57.
[3] Hammudah Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications Indianapolis-Indiana, 1975, hlm. 7.

[4] Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978, hlm. 46.
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm. 24
[6] Abuddin Nata,. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 65

[7] Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000) hlm. 69
[8] Abd. Al-Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah,1972), cet. IX, hlm. 23.

[9] Atang Abd. Hakim, dan. Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 70-71
[10] Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimalah, dan apa-apa yang dilarangnyabagimu tinggalkanlah. (Q.S. Al-Hasyr, 7); dan kami tidak mengutus seorang rosul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (Q.S. An-Nisa’ 64)
[11] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 72
[12] Taqrir adalah perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dihadapan Rasulullah dan beliau mengetahuinya, Rasulullah tidak melakukan perbuatan tersebut, juga tidak melarang sahabat melakukannya.
[13] Atang Abd Hakim, dan Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 95
[14] Ibid, hlm. 97
[15] Ibid, hlm. 98
[16] Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), hlm. 104
[17] Op. Cit, hlm. 99
[18] Op. Cit, hlm. 101
[19] Ramulyo, Mohd. Idris., Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 148-149