PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam adalah agama yang sempurna yang
tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan
oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumber-sumbernya sendiri
sebagai pedoman dan pelaksanaannya. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi
Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang lebih
baik, sejahtera lahir dan batin.
Untuk
itu kita sebagai umat Islam yang taat harus mengetahui sumber-sumber ajaran
Islam yang ada, serta mengetahui isi kandunganya. Namun
sumber-sumber tersebut tidak hanya di jadikan sebagai pengetahuan saja, tetapi
harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.[1]
Petunjuk-petunjuk
agama yang mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat dalam
sumber ajarannya, yaitu Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam pertama
dan Hadist merupakan sumber yang kedua, tampak ideal dan agung. Ditambah lagi
dengan berbagai pemikiran-pemikiran ulama’ tentang hukum-hukum yang masih
global di pembahasan Al-Qur’an dan Hadist.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Agama
Islam?
2. Bagaimana Sumber Ajaran Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama Islam
a.
Etimologis
Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam”
berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk
aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman
Allah SWT:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ
وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا
هُمْ يَحْزَنُونَ
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia
berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. 2:112).
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya[2].
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya[2].
Hal senada dikemukakan Hammudah Abdalati[3].
Menurutnya, kata “Islam” berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin, Lam,
Mim) yang berarti kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan.
Dalam pengertian religius, menurut Abdalati, pengertian Islam adalah
"penyerahan diri kepada kehendak Tuhan dan ketundukkan atas
hukum-Nya" (Submission to the Will of God and obedience to His Law).
Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius dari kata Islam
adalah erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri kepada kehendak Allah SWT
dan ketundukkan atas hukum-Nya, maka seseorang dapat mencapai kedamaian sejati
dan menikmati kesucian abadi. Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata
“Islam” setidaknya ada empat yang berkaitan satu sama lain. Dari ke-empat kata
tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Aslama. Artinya menyerahkan diri. Orang yang
masuk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT. Ia siap mematuhi
ajaran-Nya.
2. Salima. Artinya selamat. Orang yang memeluk
Islam, hidupnya akan selamat.
3. Sallama. Artinya menyelamatkan orang lain. Seorang
pemeluk Islam tidak hanya menyelematkan diri sendiri, tetapi juga harus
menyelamatkan orang lain (tugas dakwah atau ‘amar ma’ruf nahyi munkar).
4. Salam. Aman, damai, sentosa. Kehidupan yang
damai sentosa akan tercipta jika pemeluk Islam melaksanakan aslama dan sallama.
b. Terminologis
Secara terminologis (istilah, maknawi)
dapat dikatakan, Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau ke-Esaan Tuhan
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang
terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang
ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Cukup banyak ahli dan ulama yang berusaha
merumuskan definisi atau pengertian Islam secara terminologis. KH Endang
Saifuddin Anshari[4]
mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama Islam, lalu
menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan pengertian Islam, bahwa agama
Islam adalah:
v
Wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya
untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap
persada.
v
Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang
mengatur segala peri kehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai
hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya.
v
Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam,
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
v
Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariatm dan
akhlak.
v
Bersumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan
kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang
ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.
B.
Sumber Ajaran Islam
Sumber
ajaran Islam dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu primer dan sekunder. Menurut
Harun Nasution Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. [5]
Secara
Istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari
Allah SWT, bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari nabi Muhammad
SAW.[6]
Kemudian kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah
Alqur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat
untuk memahami Alqur’an dan Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam
itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT.
1. Sumber
Ajaran Islam Primer
a. Alqur’an
Menurut
pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subni Shalih, Alqur’an
berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il
madhi) dengan arti isim al-maf’ul, yaitu maqru’ “yang dibaca” (alqur’an
terjemahannya, 1990: 15). Pegertian ini merujuk pada sifat alqur’an yang
difirmankan-Nya dalam alqur’an (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18), dalam ayat tersebut
Allah berfirman.
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya.
Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18).[7]
Kemudian secara istilah secara lengkap dikemukakan
oleh Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf. Menurutnya Al-qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan
menggunakan bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadiakan hujjah
bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rosulullah, menjadi undang-undang bagi
manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan
pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam
mushaf, dimulai dari surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat Al-nas,
disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi baik secara
lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan penggantian.[8]
Fungsi Al-Qur’an tersurat dalam nama-namanya adalah
sebagaimana berikut;
1) Al-huda (petunjuk)
Dalam al-qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi
alqur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum.
Kedua, Alqur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga,
petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan
adalah bulan diturunkannya Alqur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” (Q.S.
ai-Baqarah [2]: 185)
2) Al-furqan (pemisah)
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk
membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara
yang benar dan salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan
diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang batil)...” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).
3) Al-Syifa (obat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai
obat bagi penyakit-penyakit yang ada pada dada (mungkin disini yang dimaksud
adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya
telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit yang berada dalam dada...” (Q.S. Yunus [10]: 57).
4) Al-mau’izah (nasihat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai
nasihat bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-qur’an ini
adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 138
b. Al-Hadis
Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua setelah Al-qur’an. Selain didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat
Alqur’an dan Hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat.[9]
Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis,
baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.[10]
Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain
yang menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah, al-khabar, dan
al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut kebanyakan
ulama’ hadis adalah sama dengan terminologi al-hadits meskipun ulama’
lain ada yang membedakannya.
Menurut ahli bahasa , al-hadits adalah al-jadid
(baru), al-khabar (beriata), dan al-qarib (dekat). Hadis dalam
pengertian al-khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat al-Thur (52) ayat
34. Surat al-Kahfi (18) ayat 6, dan surat al-Dhuha (93) ayat 11. Kemudian dalam
mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi antara ulama’
hadis dan ulama’ ushul fiqh terjadi berbeda pendapat. Menurut ulama’ hadits,
arti hadits adalah :
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan , taqrir[11]
maupun sifat. (Mahmud al-Thahan, 1985:15)”
Sedangkan ulama’ ahli ushul fiqh mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah.
“Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW yang
berkaitan dengan penetapan hukum.”
Al-sunnah dalam pengertian etimologi adalah
“Jalan atau cara yang merupakan kebiasaan yang baik
atau jelek. (Nur al-‘ Athar, 1979: 27)”
Posisi dan fungsi hadits, Umat Islam sepakat
bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Kesepakatan
mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun hadits.
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi (lihat Jalal al-din Abd. Al-Rahman bin Abi
Bakr al-Suyuti, th. 505)
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak
akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan Sunnah Rasul.
Hadits berfungsi merinci dan mengiterpretasi ayat-ayat
al-qur’an yang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid) terhadap
ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia pun berfungsi mengkhususkan
(tahkhshish) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (‘am). Fungsi ini
merujuk pada bayan al-tafshil versi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga
bayan tafsir. Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat
di dalam al-qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi Imam Malik,
Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
2. Ijtihat sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder
a. Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada.
Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan
lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.[12]
Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad ialah:[13]
ﺒﺬﻝ ﺍﻟﻔﻗﻴﻪ ﻮﺴﻌﻪ ﻔﻰ ﺍﺴﺘﻨﺑﺎﻂ ﺍﻻﺤﻜﺎﻡ ﺍﻟﻌﻤﻟﻴﺔ ﻤﻦ ﺍﺩ ﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻟﻴﺔ
“Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam
mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.
Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’yi dan akal).[14]
Secara harfiah ra’yi berarti
pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang arab telah mempergunakannya bagi
pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan
yang dihadapi.[15]
b. Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah
al-Qur’an dan al-Sunnah. Diantara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad
adalah sebagai berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q. S. al-Nisa :
105).
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
…sesungguhnya yang pada
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S.
al-Rum : 21)
Adapun sunnah yang menjadi dasar
ijtihad diantaranya hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh imam
Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
ﺍﺬﺍ ﺤﻜﻡ ﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﻔﺎﺼﺎﺐ ﻔﻟﻪ ﺍﺟﺮﺍﻦ ﺍﺬﺍ ﺤﻜﻡ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﺛﻡ ﺍﺨﻄﺄ ﻔﻟﻪ ﺍﺟﺮ ﻮﺍﺤﺪ
”Apabila seorang hakim menetapkan
hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala,
akan tetapi jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala.” (Muslim, II, t.th: 62) [16]
c. Syarat-syarat Mujtahid[17]
1) Mukalaf, karena hanya mukalaf
yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad
dan rahasianya
3) Mengetahui keadaan mukhathab
yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad;
apakah memiliki qarinah atau tidak.
d. Macam-macam Mujtahid[18]
1) Mujtahid Mutlak
Yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung
secara keseluruhan dari al-Qur’an dan hadits, dan seringkali mendirikan mazhab
sendiri seperti halnya para sahabat dan para imam yang empat.
2) Mujtahid Mazhab
Yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab
dan tidak membentuk suatu mazhab tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal
mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat dengan imamnya.
3) Mujtahid fil Masa’il
Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa
masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti
satu mazhab.
4) Mujtahid Muqaiyyad
Yaitu orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri dan
mengikuti pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih
utama dan pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat di
antara riwayat itu, begitu pun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar
pendapat para mujtahid yang diikuti.
e. Hukum Ijtihad
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid
yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir
peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri
mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad
menjadi wajib ’ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid
yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia
mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya,
maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas
persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas
peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam
al-Qur’an maupun al-Sunnah atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan Muhaimin, dkk.,
1994: 189)[19]
BAB III
SIMPULAN
Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Allah kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, dimana
agama Islam sendiri memiliki pedoman pokok atau sumber ajaran yang berupa kitab
suci yang bernama Al-qur’an. Kemudian apabila dalam al-qur’an masih belum
terperinci maka Sunnah/Al-hadits sebagai pedoman yang kedua. selanjutnya di
dalam Islam juga dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang
digunakan sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam
al-Qur’an dan Hadits tidak ditemui.
Sumber ajaran Islam primer yang terdiri dari
Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an sendiri didalamnya terdapat pokok isi utama yaitu, tauhid, ibadah, janji
& ancaman, kisah umat terdahulu, berita tentang zaman yang
akan datang, dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Di
dalam Al-Qur’anpun terdapat komponen-komponen sumber ajaran Islam yaitu, hukum
I’tiqodiyah, Amaliah, dan Khuluqiah. Sedangkan khusus hukum
syara terdiri
dari hukum Ibadah dan Muamalat.
Adapun di dalam hadits terdapat beberapa
komponen yaitu, sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, sunnah taqririyah, dan sunnah
hammiyah. Fungsi hadits sendiri adalah: Memperkuat hukum, memberikan rincian,
memberi pengecualian, dan menetapkan hukum yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.[20]
DAFTAR PUSTAKA
Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1989
Hammudah
Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications
Indianapolis-Indiana, 1975
Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1
Abuddin
Nata., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998)
Atang Abd.
Hakim, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000)
Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka Bandung,
1984
[3]
Hammudah Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications
Indianapolis-Indiana, 1975, hlm. 7.
[4]
Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978,
hlm. 46.
[5]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm.
24
[6]
Abuddin Nata,. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998), hlm. 65
[7]
Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000) hlm. 69
[8]
Abd. Al-Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: Al-Majelis
al-‘Ala al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah,1972), cet. IX, hlm. 23.
[9]
Atang Abd. Hakim, dan. Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 70-71
[10]
Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu,
terimalah, dan apa-apa yang dilarangnyabagimu tinggalkanlah. (Q.S. Al-Hasyr,
7); dan kami tidak mengutus seorang rosul, melainkan untuk ditaati dengan izin
Allah. (Q.S. An-Nisa’ 64)
[11]
Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 72
[12]
Taqrir adalah
perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dihadapan Rasulullah dan beliau
mengetahuinya, Rasulullah tidak melakukan perbuatan tersebut, juga tidak
melarang sahabat melakukannya.
[13]
Atang Abd Hakim, dan Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 95
[16]
Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka Bandung,
1984), hlm. 104