Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri, sedangkan di luar wilayah tersebut dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada abad XVI adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara keseluruhan. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat Jawa.
Dalam budaya masyarakat Jawa, indikasi yang melekat khususnya pada orang Jawa tidak hanya nampak secara fisik, misalnya busana atau pakaian yang dikenakan, namun juga etika, moralitas, dan sikap hidup. Etika, antara lain dapat dilihat dari unggah ungguh dan sopan santun. Moralitas tercermin dalam ukuran baik-buruk, benar-salah, wajar atau tidak wajar, rasa malu melakukan hal yang menyimpang. Sikap hidup orang Jawa antara lain:
• Sikap hidup religius, yaitu diantaranya menahan diri dari godaan berbasai hal untuk membersihkan batin, tidak materalistik, tidak sombong, tidak suka berbohong.
• Sikap hidup prasaja, yaitu segala hal disesuaikan dengan takaran kewajaran.
• Solider, yaitu mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi, rasa setia kawan, tepo seliro, dsb.
• Mengutamakan “ajining diri” (kehormatan, harkat, martabat, kualitas, eksistensial) dari pada kepemilikan.
Selain keempat hal di atas, sikap hidup orang Jawa juga tercermin dalam Hastasila (delapan sikap dasar) yang terdiri dari Trisila dan Pancasila yaitu:
1. Trisila Yaitu merupakan pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia melalui budi dan cipta manusia dalam menyembah Tuhan yang meliputi:
a. Eling atau sadar Ialah selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal melalui perwujudan tiga sikap (tripurusa), yaitu sukma kawekasan, sukma sejati, dan roh suci.
b. Pracaya atau percaya Ialah percaya terhadap sukma sejati atau utusannya yang disebut guru sejati.
c. Mituhu Ialah setia dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disampaikan melalui utusan-Nya.
2. Pancasila Terdiri dari lima sikap hidup, yaitu:
a. Rila Ialah keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala milik, kekuasaan. Dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan.
b. Nerimo Ialah berkaitan dengan ketentraman hati, yang berarti tidak menginginkan milik orang lain dan iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, melainkan bersyukur kepada Tuhan.
c. Temen Ialah menetapi janji atau ucapannya, baik yang dilakukan secara lisan, tulisan maupun di dalam hati.
d. Sabar Ialah kuat terhadap segala cobaan dan tidak putus asa yang dikarenakan kuat imannya, luas pengetahuan dan wawasannya.
e. Budi luhur Ialah apabila manusia selalu menjalankan segala tabiat dan sifatnya seperti Tuhan Yang Maha Mulia seperti kasih sayang terhadap sesama, suci, adil, dan tidak membeda-bedakan.
Selain sifat di atas, juga terdapat sikap umum masyarakat Jawa, antara lain:
• Sikap Feodalistik Feodalistik merupakan sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus, karena adanya perbedaan pangkat, usia, keturunan, kedudukan, dan sebagainya yang diimplementasikan ke dalam bahasa dan budaya. Sehingga muncul yang disebut unggah ungguh dalam kalangan feodalisme yang sangat diperhatikan dan diradisikan. Tradisi dan budaya feodalisne sampai sekarang sedemikian kuatnya mengakar dalam masyarakat Jawa.
• Sikap keberagamaan Ungkapan membangun mengenai konsep “kautamaning ngaurip” (pencapaian kehidupan ideal) atau manusia uama, yaitu manusia yang pandai bergaul, maupun mau bergaul (ajur-ajer) dengan siapa saja, dan tidak pernah meragukan orang lain. Kalau orang sekarang menamakan “ajur-ajer” ini dengan istilah orang yang memiliki kecerdasan afejtif (AQ). Orang yang ngunggul-unggulake senderung sombong dan tinggi hati. Orang demikian ini dalam pergaulan masyarakat tidak disukai. Jadi, manusia utama adalah orang yang tidak suka ngunggul-unggulake pangkat/kedudukan, derajat/keturunan, kekayaan walaupun dalam kenyataannya untuk memiliki pangkat, kedudukan, dan kekayaan sangat sulit.
• Sikap fatalistik Fatalistik artinya pasrah, karena orang Jawa beranggapan bahwa hidup ini hanya sebentar saja, diibaratkan “mampir ngombe”. Sehingga, hal-hal apapun yang ada di dunia ini jangan dianggap sesuatu yang dicapai mati-natian. Artinya hidup yang hanya sebentar dan satu kali ini tidak usah dibuat susah. Segala hal yang terkait dengan nasib atau beja cilaka (enak dan susah) telah menjadi suratan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Ada kiasan aja ngaya ndak gelis tuwa (jangan terlalu ambisius nanti ceoat tua) dan urip sepisan wae ora usah ngaya (hidup sekali tidak usah terlalu kerja keras)
Keberadaan wayang Wayang dianggap sebagai identitas simbolik manusia Jawa, dalam berbagai lakon dari para tokohnya memuat dan berperan sebagai “nilai edukatif” sekaligus dapat dijadikan tuntunan maupun tontonan masyarakat. Implikasinya, orang-orang Jawa senang mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh yang dianggap baik, seperti Seno, Permadi, Abimanyu, dan sebagainya. Sebaliknya, orang-orang Jawa tidak senang memakai nama-nama yang berasal dari keluarga Kurawa, seperti: Dursasana, Kumbakarna, dsb. Walaupun demikian, terdapat tokoh-tokoh yang diunggulkan seperti: Kumbakarna, Suryaputra, Suwanda,dsb.
Tepo saliro Adalah suatu sikap orang Jawa yang berusaha menempatkan diri dalam keasaan orang lain hingga dapat mengerti mengapa orang lain sampai dapat melakukan perbuatan tertentu. Dengan teposaliro orang akan paham mengenai latar belakang perbuatan seseorang atau mengapa orang itu melakukan suatu perbuatan, dan akhirnya dapat memakluminya. Nilai positif sikap teposaliro adalah tidak akan mudah menyalahkan orang lain.
Mawas diri Adalah intropeksi yaitu meninjau ke dalam diri, dalam hati nurani untuk mengetahui benar tidaknya tindakan yang diperbuat. Mawas diri ini sebagai upaya perenungan hingga ego yang paling dalam (hati nurani) yang sifatnya jujur. Sebab denan mawas diri seseorang diharapkan dapat menetralkan emosinya, sehingga dapat membesakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi diri maupun orang lain.
Budi luhur Budi luhur dapat dicapai dengan menyelasankan antara akal dan rasa, antara jasmani dan rohani, antara teori dan pengalaman, antara dunias dan akhirat. Jadi konsep budi luhur itu merupakan konsep yang menekankan pada aspek keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan.
Gugon tuhon Istilah “gugon tuhon” padan katanya takhayul. Sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai adanya gugon tuhon ini. Karena kepercayaan ini sebagai peninggalan paham hindu yang berabad-abad berkuasa di Jawa. Kepercayaan ini membuktikan bahwa masih ada makhluk lain selain manusia di bumi ini. Makhluk tersebut dianggap gaib dan ikut menempati bumi ini bersama-sama manusia. Jadi konsep gugon tuhon ini merupakan salah satu upaya manusia Jawa untuk selaras dan harmonis sengan lingkungan gaib. Mengingat bahwa manusia Jawa senang akan keselarasan dan keharmonisan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan lingkungan (baik lingkungan sesama maupun lingkungan gaib), dan manisia dengan Tuhan. Itu semua dimaksudkan untuk mencapai ketentraman hidup.
Keperwiraan Sifat ini muncul dari budaya feodalistik orang Jawa yang masih mempertahankan paham feodalistiknya. Sikap perwira ini tentunya juga disebut mempertahankan gengsi. Sifat perwira ini tentunya positif apabila dilaksanakan secara proporsional. Tetapi jika sikap perwira ini “over dosis” maka sikap negatifnya akan muncul. Orang yang bersifat perwira/percaya diri sampai berlebihan akan terlihat “kemlinthi”, over acting, dan tinggi hati. Sikap perwira masyarakat Jawa ini lebih banyak dilatarbelakangi oleh obsesinya untuk menjadi manusia utama. Misalnya sikap perwira positif, yaitu tidak mau kalah dalam mengeluarklan uang. Sikap perwira negatif yaitu sudah miskin diberi makan tidak mau alasannya masih mempunyai beras.
No comments:
Post a Comment