Sunday, April 2, 2017

PROSES MENUJU PERNIKAHAN



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, umat manusia. Shalawat serta salam tak lupa kita ucapkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Atas berkat rahmat Allah SWT. penulis dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang “PROSES MEUJU PERNIKAHAN” dengan semestyinya. Makalah ini merupakan tugas terstruktur dari mata kuliah Fiqih Munakahat1. Di dalamnya akan dibahas mengenai permasalahan-permasalahan proses dalam menuju sebuah perkawinan, mulai dari ta’aruf sampai pada kafa’ah.
Penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penyusun maupun para pembaca. penyusun  menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah menjadi lebih baik untuk kedepannya.



Penyusun











BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Siapakah di antara kita yang tidak ingin di masa depannya memiliki rumah tangga yang islami, sakinah mawaddah warahmah? Anak-anak yang shalih, istri shalihah, suami yang shalih, semua tidak akan terwujud kecuali karena taufiq dari Allah, dan ikhtiar masing masing individu. Maka untuk membentuk suatu keluarga yang Islami, perlu dilakukan upaya-upaya yang dari awalnya harus sesuai dengan syari’at Islam. Jalan yang disyari’atkan salah satunya adalah ta’aruf, yaitu mengenal calon pasangan kita. Kemudian  khitbah dengan ketentuan pada umumnya di masyarakat.
Untuk menuju sebuah pernikahan akan ada banyak tahap dan syarat – syarat yang harus di penuhi. Didalam makalah ini kami akan membahas sekelumit tentang bagaimana proses yang harus dilalui untuk menuju pernikahan yang sesuai dengan syaria’t Islam.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini :
1.       Bagaimana Pacaran dan peminangan (Khitbah) dalam perkawinan)?
2.       Bagaimana definisi khitbah, syarat – syarat, hantaran dan akibat pembatalan khitbah.?
3.       Bagian aurat mana sajakah yang boleh dilihat oleh lawan jenis?
4.       Bagaimana Kafa’ah dalam perkawinan?
C.     Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini di antaranya :
1.      Menambah pengetahuan mengenai Pacaran dan peminangan (Khitbah) dalam perkawinan)?
2.      Menambah pengetahuan mengenai definisi khitbah, syarat – syarat, hantaran dan akibat pembatalan khitbah.?
3.      Menambah pengetahuan mengenai aurat mana sajakah yang boleh dilihat oleh lawan jenis?
4.      Menambah pengetahuan mengenai kafa’ah di dalam perkawinan.



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pacaran dan peminangan dalam perkawinan
Akhir – akhir ini, proses khitbah ( peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam bhasa indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai ikatan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran degan tunangan sering dirangkai menjadi satu.[1]
Ketika muda mudi menjalani sebuah hubungan yang namanya pacaran, dan dalam perjalannannya mereka menemukan sebuah kecocokan  atau kenyamanan satu sama lain, biasanya dilanjutkan dengan tunangan. Begitupun sebaliknya mereka yang bertunangan biasanya melalui masa – masa pacaran terlebih dahulu. Pacaran disini dimaskudkan dengan proses pengenalan pribadi masing – masing, yang dalam ajaran islam disebut dengan “ Ta’aruf”
Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi terbuka. Terleih saat mereka merasa belum adanya ikatan resmi, akibatnya bisa melampaui batas kepatutan. Terkadang pacaran yang tidak hanya untuk mengenal pribadi, tetapi hanya sebagai status bahkan untuk pelampiasan nafsu belaka sehingga muncul pergaulan bebas yang berakibat pada hamil pranikh kemudian parktik aborsi.[2]
Batasan – batasan pergaulan antara lelaki dengan perempuan sebenarnya sudah di atur di dalam islam. Sebagaimana contohnya yaitu larangan untuk mendekati zina seperti tersurat dalam surat Al Isra ayat 32 :



ولا تقرب الزنى إنه كانا فاحشة وساء سبيلا
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji . dan suatu jalan yang buruk. Qs. Al-Isra : 17 : 32.[3]
Dengan demikian, Islam memiliki batasan dalam pergaulan agar pemeluknya tidak terjerumus kedalam hal – hal yang bisa merugikan diri umat itu sendiri. Islam juga mempunyai tahapan – tahapan proses menempuh hidupberumah tangga. Yang pertama adalah proses ta’aruf atau bisa juga di sebut dengan tahap perkenalan. Kedua yaitu tahap khitbah yakni melamar atau meminang dan akan dibahas pada point berikutnya di bawah ini.
B.     Kitbah, syarat – syarat, hantaran dan akibat pembatalan khitbah.
a.       Pengertian khitbah.
Secara etimologi, khitbah, meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri.[1] Dalam KHI pasal 1 (a), menurut terminologi, khitbah ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.[4]
b.      Syarat – Syarat Khitbah.
Peminangan merupakan proses pendahuluan didalam sebuah perkawinan yang disyariatkan sebelum adanya ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki tahap perkawinan didasari dengan kerelaan hati oleh masing – masing pasangan yang diperoleh dari proses ta’aruf.
Berikut adalah beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga seorang perempuan boleh di khitbah, antara lain yaitu :
a.       Tidak dalam pinangan orang lain.
b.      Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syarak yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
c.       Perempuan itu tidak dalam masa idah karena talak raj’i. Dan
d.      Apabila perempuan dalam masa idah karena talak ba’in, hendaklah meminang secara sirry ( tidak terang terangan).[5]
c.       Hantaran di dalam khitbah.
Khitbah atau lamaran adalah bentuk dari pendahuluan dari ikatan pernikahan. Lamaran ini dimaksudkan untuk mengetahui kesediaan seorang wanita untuk menikah dengan laki-laki dan restu dari wali wanita yang hendak dinikahi. Inilah gerbang awal yang mengikat seorang wanita sebelum terikat dengan akad dihadapan penguhulu dan para saksi.
Membawa hantaran lamaran menjadi hal lumrah di Indonesia. Sedangkan dalam islam membawa hantaran lamaran bukanlah hal yang bersifat wajib. Tidak ada hukum atau nas tertentu yang mengatur hal tersebut. Akan tetapi budaya yang berkembang di Indonesia banyak setiap orang yang akan melakukan lamaran biasaya membawa hantaran lamaran. Hal ini bukanlah hal yang salah karena ini bukan masalah mengenai halal dan haram, tetapi ini mengenai etika dan mengenai budaya yag berkembang di masyarakat.[6]
Secara budaya dan etika hantaran lamaran memiliki beberapa fungsi. Pertama, hantaran lamaran berfungsi sebagai “pegetuk pintu”. Hantaran lamaran yang dibawa menjadi buah tangan yang dibawa oleh calon mempelai laki-laki kepada calom mempelai perempuan. Kedua, hantaran lamaran berfungsi untuk mempererat kekeluargaan dari dua keluarga yang berbeda. Pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua insan yang berbeda tetapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda. Maka sangat penting bagi kita untuk menjadikan hantaran lamaran ini sebagai sarana untuk mempererat tali kekeluargaan dua keluarga.
d.      Pemabatalan khitbah.
Dalam melangsungkan proses khitbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan dan akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap dan sebagainya satu dengan yang lainnya. Sehingga berkaitan dengan fungsi khitbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh lagi dengan cara yang ma’ruf. Maka apabila dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidak cocokan antara dirinya dengan calon pasangannya ataupun sebaliknya, maka ia berhak untuk membatalkan khitbah tersebut.
Pembatalan khitbah adalah hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khitbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon lainnya memiliki banyak kekurangan, kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khitbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khitbah maka ketika akan mengakhiri khitbah dengan pembatalan pun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khitbah hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan itu terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlaq yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda Islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.[7]
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khitbah juga berlaku apabila adanya qadha dari Allah SWT semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkannya akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan syar’i, maka pembatalan khitbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lainnya dan merupakan cirri dari orang-orang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhitbahnya. Rasulullah SAW bersabda :
 
أية المنافق ثلاثة : إذا حدث كذب, وإذا وعد أخلف, و إذئتمن خان
“sifat orang munafik itu ada 3 : Apabila ia berkata ia berdusta, apabila ia berjanji ia ingkar, apabila ia dipercaya ia khianat” (HR.Bukhari). 

C.    Aurot dan anggota tubuh yang boleh di lihat oleh lawan jenis.
Demi kebaikan bersamauntuk mencapai kesejahteraan dalam menjalani kehidupan nantinya, sudah barang tentu seorang laki – laki melihat dulu perempuan yang ingin dipinangnya sehingga ia bisa yakin, apakah bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan atau dibatalkan.
Islam sendiri memperbolehkan melihat perempuan yang akan dipinang selama dalam batas – batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi Muhammad S.A.W :
عن المغيرة بن شعبة قال : خطبت امرأة ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( أنظرت إليها ؟ ) قلت : لا ، قال : ( فانظر إليها فأنه أحرى أن يؤدم بينكما ) (رواه النسائي وابن ماجه  والترمذي )

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya : Sudahlah kau lihat dia? Ia menjawab : Belum. Sabda Nabi : Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersamanya lebih langgeng. H.R. Nasa’i, Ibnu Majag, dan Tirmidzi)[8]
Mengenai badan wanita yang boleh dilihat, ada banyak perbedaan pendapat dianatar para fuqaha’. Imam Malik hanya memperbolhkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqoha yang lain ( seperti Abu Daud al-Dhahiry). Membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan, sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sma sekali. Sedangkan imam abu hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan dua telapak tangan. [9]
Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya perintah untuk melihat wanita secara muthlak, dan ada pula larangan pula secara muthlak, dan ada pula perintah yang bersifat terbatas, yakni pada muka , dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman Allah SWT :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
Dan jangan (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali  yang (biasa) tmpak daripadanya. (QS Al-Nur 24:31)
Maksud perhiasan yang biasa yang nampak daipadanya “ adalah muka dan dua telapak tangan. Disamping itu jangan diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan kedua telapak tangan pada waktu berhaji, oleh kebanyakan fuqoha. Adapun fuqaha yang melarang melihat sama sekali, mereka berpegang kepada aturan pokok yaitu melihat orang-orang wanita.[10]
Bilamana seorang lelaki mendapati perempuan pinangannya yang tidak menarik, hendaklah bersikap sebijaksana mungkin dengan cara diam dan tidak mengatakan sesuatu yang mampu menyakiti hati si perempuan tersebut. Sebab boleh jadi masih ada laki – laki lain yang mau menerimanya apa adanya.
D.    Kafa’ah
Arti kafa’ah berarti serupa, seimbang atau serasi. Kafa’ah dalam pernikahan, maksudnya keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. Sayyid Sabiq mengartikan kafa’ah dengan spadan, sebanding dan sederajat yakni laki-laki sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat sosial, akhlak dan kekayaan. Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai wanita sebanding, merupakan faktor yang menentukan dalam kehidupan rumah tangga.[11]
Untuk terciptanya sebuah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, Islam menganjurkan agar ada keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon suami istri tersebut. Tetapi hal ini bukanlah merupakan satu hal yang mutlak, melainkan satu hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi.
Adapun pendapat jumhur ulama fiqih tentang kafa’ah adalah sebagai berikut:
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya kafa’ah adalah persamaan antara seorang calon laki-laki dengan calon wanita dalam beberapa masalah tertentu seperti keturunan, pekerjaan, merdeka, agama, harta.
Golongan Malikiah berpendapat bahwa kafa’ah dalam nikah adalah sebanding dengan dua urusan; pertama, masalah agama, dalam arti orang tersebut muslim yang tidak fasik. Kedua, calon pria bebas dari cacat yang besar yang dapat mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan hak khiyar atau hak pilihnya, seperti penyakit supak, gila atau penyakit kusta. Ketiga, kafa’ah dalam harta, merdeka, keturunan, dan pekerjaan merupakan pertimbangan saja.
Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa kafa’ah itu adalah dalam masalah tidak adanya aib. Kalau salah satu di antaranya ada aib, maka yang lain dapat membatalkan perkawinan itu (fasakh). Yang perlu dipertimbangkan dalam masalah ini adalah keturunan, agama merdeka, dan pekerjaan.[12]
Sedangkan yang berhak atas kafa’ah itu adalah wanita dan yang berkewajiban harus berkafa’ah adalah pria. Jadi yang dikenal persyaratan harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki terhadap wanita. Kafa’ah ini merupakan masalah yang harus diperhitungkan dalam melaksanakan suatu pernikahan, bukan untuk sahnya suatu pernikahan. Kafa’ah ini adalah hak wanita dan wali, oleh karena itu keduanya berhak untuk menggugurkan kafa’ah.
Kesimpulannya, kafa’ah itu diperhitungkan sebagai syarat sah nikah, ketika wanita tidak rela, tetapi apabila ia rela maka kafa’ah tidak menjadi persyaratan sah atau tidaknya pernikahan.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pacaran dalam bhasa indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai ikatan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran degan tunangan sering dirangkai menjadi satu.
Kata peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut “khithbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat


                                                 










                                                                               


[1] Abd.Rachman Assegaf, Studi Islam Konstektual, Elaborasi Pradigma Baru Muslimah Ksffah ( Yogyakarta : Gama Media, 2005) cet Ke-1, hlm. 133
[2] H.M.A. Thami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta Rajawali Pers,  2014)Ed- 1 cet ke-4 hal. 21
[3] H.M.A. Thami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta Rajawali Pers,  2014)Ed- 1 cet ke-4 hal. 22
[4] H.M.A. Thami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta Rajawali Pers,  2014)Ed- 1 cet ke-4 hal. 24
[5] H.M.A. Thami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta Rajawali Pers,  2014)Ed- 1 cet ke-4 hal. 24
[8] H.M.A. Thami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta Rajawali Pers,  2014)Ed- 1 cet ke-4 hal. 25
[9] H.M.A. Thami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta Rajawali Pers,  2014)Ed- 1 cet ke-4 hal. 26

[10] Lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahit wa Nihayah Al-Mujtahit, (Beirut : Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 37.
[11] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Terj. Moh. Thalib, (Bandung: Al-Ma’arif, Juz. 6, 1990).

No comments:

Post a Comment