KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang
telah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, umat
manusia. Shalawat serta salam tak lupa kita ucapkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW.
Atas berkat rahmat Allah SWT.
penulis dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang “PROSES MEUJU
PERNIKAHAN” dengan semestyinya. Makalah ini merupakan tugas terstruktur dari
mata kuliah Fiqih Munakahat1. Di dalamnya akan dibahas mengenai permasalahan-permasalahan
proses dalam menuju sebuah perkawinan, mulai dari ta’aruf sampai pada kafa’ah.
Penyusun berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi diri penyusun maupun para pembaca. penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka penusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca agar makalah menjadi lebih baik untuk kedepannya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siapakah di
antara kita yang tidak ingin di masa depannya memiliki rumah tangga yang
islami, sakinah mawaddah warahmah? Anak-anak yang shalih, istri shalihah, suami
yang shalih, semua tidak akan terwujud kecuali karena taufiq dari Allah, dan
ikhtiar masing masing individu. Maka untuk membentuk suatu keluarga yang Islami,
perlu dilakukan upaya-upaya yang dari awalnya harus sesuai dengan syari’at
Islam. Jalan yang disyari’atkan salah satunya adalah ta’aruf, yaitu mengenal
calon pasangan kita. Kemudian khitbah
dengan ketentuan pada umumnya di masyarakat.
Untuk menuju
sebuah pernikahan akan ada banyak tahap dan syarat – syarat yang harus di
penuhi. Didalam makalah ini kami akan membahas sekelumit tentang bagaimana
proses yang harus dilalui untuk menuju pernikahan yang sesuai dengan syaria’t
Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari
penulisan makalah ini :
1.
Bagaimana Pacaran dan peminangan
(Khitbah) dalam perkawinan)?
2.
Bagaimana definisi khitbah, syarat –
syarat, hantaran dan akibat pembatalan khitbah.?
3.
Bagian aurat mana sajakah yang boleh
dilihat oleh lawan jenis?
4.
Bagaimana Kafa’ah dalam perkawinan?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini di
antaranya :
1.
Menambah pengetahuan mengenai Pacaran
dan peminangan (Khitbah) dalam perkawinan)?
2.
Menambah pengetahuan mengenai
definisi khitbah, syarat – syarat, hantaran dan akibat pembatalan khitbah.?
3.
Menambah pengetahuan mengenai aurat
mana sajakah yang boleh dilihat oleh lawan jenis?
4.
Menambah pengetahuan mengenai
kafa’ah di dalam perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pacaran
dan peminangan dalam perkawinan
Akhir – akhir ini, proses khitbah (
peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam bhasa indonesia,
pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai ikatan
batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah
pacaran degan tunangan sering dirangkai menjadi satu.[1]
Ketika muda mudi menjalani sebuah
hubungan yang namanya pacaran, dan dalam perjalannannya mereka menemukan sebuah
kecocokan atau kenyamanan satu sama lain,
biasanya dilanjutkan dengan tunangan. Begitupun sebaliknya mereka yang
bertunangan biasanya melalui masa – masa pacaran terlebih dahulu. Pacaran
disini dimaskudkan dengan proses pengenalan pribadi masing – masing, yang dalam
ajaran islam disebut dengan “ Ta’aruf”
Akibat pergeseran sosial, dewasa
ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi terbuka. Terleih saat mereka
merasa belum adanya ikatan resmi, akibatnya bisa melampaui batas kepatutan.
Terkadang pacaran yang tidak hanya untuk mengenal pribadi, tetapi hanya sebagai
status bahkan untuk pelampiasan nafsu belaka sehingga muncul pergaulan bebas
yang berakibat pada hamil pranikh kemudian parktik aborsi.[2]
Batasan – batasan pergaulan antara
lelaki dengan perempuan sebenarnya sudah di atur di dalam islam. Sebagaimana
contohnya yaitu larangan untuk mendekati zina seperti tersurat dalam surat Al
Isra ayat 32 :
ولا تقرب الزنى إنه كانا فاحشة وساء سبيلا
Dan janganlah
kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji .
dan suatu jalan yang buruk. Qs. Al-Isra : 17 : 32.[3]
Dengan
demikian, Islam memiliki batasan dalam pergaulan agar pemeluknya tidak
terjerumus kedalam hal – hal yang bisa merugikan diri umat itu sendiri. Islam
juga mempunyai tahapan – tahapan proses menempuh hidupberumah tangga. Yang
pertama adalah proses ta’aruf atau bisa juga di sebut dengan tahap perkenalan.
Kedua yaitu tahap khitbah yakni melamar atau meminang dan akan dibahas pada
point berikutnya di bawah ini.
B.
Kitbah,
syarat – syarat, hantaran dan akibat pembatalan khitbah.
a.
Pengertian
khitbah.
Secara etimologi, khitbah, meminang atau
melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri.[1] Dalam KHI
pasal 1 (a), menurut terminologi, khitbah ialah kegiatan upaya kearah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau,
seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya,
dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.[4]
b.
Syarat
– Syarat Khitbah.
Peminangan merupakan proses pendahuluan didalam sebuah perkawinan
yang disyariatkan sebelum adanya ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu
memasuki tahap perkawinan didasari dengan kerelaan hati oleh masing – masing
pasangan yang diperoleh dari proses ta’aruf.
Berikut adalah beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga seorang
perempuan boleh di khitbah, antara lain yaitu :
a.
Tidak
dalam pinangan orang lain.
b.
Pada
waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syarak yang melarang
dilangsungkannya pernikahan.
c.
Perempuan
itu tidak dalam masa idah karena talak raj’i. Dan
d.
Apabila
perempuan dalam masa idah karena talak ba’in, hendaklah meminang
secara sirry ( tidak terang terangan).[5]
c.
Hantaran
di dalam khitbah.
Khitbah atau lamaran adalah bentuk dari pendahuluan dari ikatan
pernikahan. Lamaran ini dimaksudkan untuk mengetahui kesediaan seorang wanita
untuk menikah dengan laki-laki dan restu dari wali wanita yang hendak dinikahi.
Inilah gerbang awal yang mengikat seorang wanita sebelum terikat dengan akad
dihadapan penguhulu dan para saksi.
Membawa hantaran lamaran menjadi hal lumrah di Indonesia. Sedangkan dalam islam
membawa hantaran lamaran bukanlah hal yang bersifat wajib. Tidak ada hukum atau
nas tertentu yang mengatur hal tersebut. Akan tetapi budaya yang berkembang di
Indonesia banyak setiap orang yang akan melakukan lamaran biasaya membawa
hantaran lamaran. Hal ini bukanlah hal yang salah karena ini bukan masalah
mengenai halal dan haram, tetapi ini mengenai etika dan mengenai budaya yag
berkembang di masyarakat.[6]
Secara budaya dan etika hantaran lamaran memiliki beberapa fungsi.
Pertama, hantaran lamaran berfungsi sebagai “pegetuk pintu”. Hantaran lamaran
yang dibawa menjadi buah tangan yang dibawa oleh calon mempelai laki-laki
kepada calom mempelai perempuan. Kedua, hantaran lamaran berfungsi untuk
mempererat kekeluargaan dari dua keluarga yang berbeda. Pernikahan bukan hanya
tentang menyatukan dua insan yang berbeda tetapi juga menyatukan dua keluarga
yang berbeda. Maka sangat penting bagi kita untuk menjadikan hantaran lamaran
ini sebagai sarana untuk mempererat tali kekeluargaan dua keluarga.
d.
Pemabatalan
khitbah.
Dalam melangsungkan proses khitbah, terdapat banyak hal yang akan
ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan dan akhwat) terhadap keadaan,
karakter, sikap dan sebagainya satu dengan yang lainnya. Sehingga berkaitan
dengan fungsi khitbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang
di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh lagi dengan
cara yang ma’ruf. Maka apabila dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu
pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidak cocokan antara dirinya dengan
calon pasangannya ataupun sebaliknya, maka ia berhak untuk membatalkan khitbah
tersebut.
Pembatalan khitbah adalah hal yang wajar, bukanlah hal yang
berlebihan. Menganggap hal ini berlebihan merupakan perbuatan yang keliru,
misal ada anggapan bahwa pembatalan khitbah terjadi karena adanya penilaian
bahwa salah satu calon bagi calon lainnya memiliki banyak kekurangan, kemudian
ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan
orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun
kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan
khitbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul
pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khitbah maka ketika akan mengakhiri
khitbah dengan pembatalan pun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak
menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khitbah hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan itu
terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan
pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal)
seperti dimilikinya akhlaq yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup
yang menyimpang dari mabda Islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit
menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat
menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai
kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.[7]
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khitbah juga
berlaku apabila adanya qadha dari Allah SWT semisal kematian yang menimpa salah
satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkannya akad pernikahan. Selain
atas dasar alasan-alasan syar’i, maka pembatalan khitbah tidak boleh dilakukan,
karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lainnya dan merupakan cirri dari
orang-orang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang
dikhitbahnya. Rasulullah SAW bersabda :
أية المنافق ثلاثة : إذا حدث كذب, وإذا وعد أخلف, و إذئتمن خان
“sifat orang munafik itu ada 3 : Apabila ia berkata ia berdusta,
apabila ia berjanji ia ingkar, apabila ia dipercaya ia khianat”
(HR.Bukhari).
C.
Aurot dan anggota tubuh yang boleh di lihat oleh lawan jenis.
Demi kebaikan bersamauntuk mencapai
kesejahteraan dalam menjalani kehidupan nantinya, sudah barang tentu seorang
laki – laki melihat dulu perempuan yang ingin dipinangnya sehingga ia bisa
yakin, apakah bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan atau dibatalkan.
Islam sendiri memperbolehkan melihat
perempuan yang akan dipinang selama dalam batas – batas tertentu, berdasarkan
sabda Nabi Muhammad S.A.W :
عن المغيرة بن شعبة قال : خطبت امرأة ، فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : ( أنظرت إليها ؟ ) قلت : لا ، قال : ( فانظر إليها فأنه أحرى أن يؤدم
بينكما ) (رواه النسائي وابن ماجه والترمذي )
Dari Mughirah
bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW bertanya
kepadanya : Sudahlah kau lihat dia? Ia menjawab : Belum. Sabda Nabi : Lihatlah
dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersamanya lebih langgeng. H.R.
Nasa’i, Ibnu Majag, dan Tirmidzi)[8]
Mengenai badan
wanita yang boleh dilihat, ada banyak perbedaan pendapat dianatar para fuqaha’.
Imam Malik hanya memperbolhkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqoha
yang lain ( seperti Abu Daud al-Dhahiry). Membolehkan melihat seluruh badan,
kecuali dua kemaluan, sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sma
sekali. Sedangkan imam abu hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka
dan dua telapak tangan. [9]
Silang pendapat
ini disebabkan oleh adanya perintah untuk melihat wanita secara muthlak, dan
ada pula larangan pula secara muthlak, dan ada pula perintah yang bersifat
terbatas, yakni pada muka , dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat
mayoritas ulama berkenaan dengan firman Allah SWT :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
Dan jangan
(kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tmpak daripadanya. (QS Al-Nur 24:31)
Maksud
perhiasan yang biasa yang nampak daipadanya “ adalah muka dan dua telapak
tangan. Disamping itu jangan diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan kedua
telapak tangan pada waktu berhaji, oleh kebanyakan fuqoha. Adapun fuqaha yang
melarang melihat sama sekali, mereka berpegang kepada aturan pokok yaitu
melihat orang-orang wanita.[10]
Bilamana
seorang lelaki mendapati perempuan pinangannya yang tidak menarik, hendaklah
bersikap sebijaksana mungkin dengan cara diam dan tidak mengatakan sesuatu yang
mampu menyakiti hati si perempuan tersebut. Sebab boleh jadi masih ada laki –
laki lain yang mau menerimanya apa adanya.
D.
Kafa’ah
Arti kafa’ah berarti serupa,
seimbang atau serasi. Kafa’ah dalam pernikahan, maksudnya keseimbangan dan
keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak
merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. Sayyid Sabiq mengartikan kafa’ah
dengan spadan, sebanding dan sederajat yakni laki-laki sebanding dalam tingkat
sosial dan sederajat dalam tingkat sosial, akhlak dan kekayaan. Tidak diragukan
lagi bahwa kedudukan calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai wanita
sebanding, merupakan faktor yang menentukan dalam kehidupan rumah tangga.[11]
Untuk terciptanya sebuah rumah
tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, Islam menganjurkan agar ada
keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon
suami istri tersebut. Tetapi hal ini bukanlah merupakan satu hal yang mutlak,
melainkan satu hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pernikahan
yang bahagia dan abadi.
Adapun pendapat jumhur ulama fiqih
tentang kafa’ah adalah sebagai berikut:
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa
sesungguhnya kafa’ah adalah persamaan antara seorang calon laki-laki dengan
calon wanita dalam beberapa masalah tertentu seperti keturunan, pekerjaan,
merdeka, agama, harta.
Golongan Malikiah berpendapat bahwa
kafa’ah dalam nikah adalah sebanding dengan dua urusan; pertama, masalah agama,
dalam arti orang tersebut muslim yang tidak fasik. Kedua, calon pria bebas dari
cacat yang besar yang dapat mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan
hak khiyar atau hak pilihnya, seperti penyakit supak, gila atau penyakit kusta.
Ketiga, kafa’ah dalam harta, merdeka, keturunan, dan pekerjaan merupakan
pertimbangan saja.
Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa
kafa’ah itu adalah dalam masalah tidak adanya aib. Kalau salah satu di
antaranya ada aib, maka yang lain dapat membatalkan perkawinan itu (fasakh).
Yang perlu dipertimbangkan dalam masalah ini adalah keturunan, agama merdeka,
dan pekerjaan.[12]
Sedangkan yang berhak atas kafa’ah
itu adalah wanita dan yang berkewajiban harus berkafa’ah adalah pria. Jadi yang
dikenal persyaratan harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki terhadap
wanita. Kafa’ah ini merupakan masalah yang harus diperhitungkan dalam
melaksanakan suatu pernikahan, bukan untuk sahnya suatu pernikahan. Kafa’ah ini
adalah hak wanita dan wali, oleh karena itu keduanya berhak untuk menggugurkan
kafa’ah.
Kesimpulannya, kafa’ah itu
diperhitungkan sebagai syarat sah nikah, ketika wanita tidak rela, tetapi
apabila ia rela maka kafa’ah tidak menjadi persyaratan sah atau tidaknya
pernikahan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pacaran dalam bhasa indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan
jenis yang tetap dan mempunyai ikatan batin, biasanya untuk menjadi tunangan
dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran degan tunangan sering dirangkai
menjadi satu.
Kata peminangan berasal dari kata “pinang, meminang”
(kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab
disebut “khithbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara
lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain).
Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang
laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan
cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat
[1] Abd.Rachman
Assegaf, Studi Islam Konstektual, Elaborasi Pradigma Baru Muslimah Ksffah
( Yogyakarta : Gama Media, 2005) cet Ke-1, hlm. 133
[2] H.M.A. Thami,
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta
Rajawali Pers, 2014)Ed- 1 cet ke-4 hal.
21
[3] H.M.A. Thami,
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta
Rajawali Pers, 2014)Ed- 1 cet ke-4 hal.
22
[4] H.M.A. Thami,
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta
Rajawali Pers, 2014)Ed- 1 cet ke-4 hal.
24
[5] H.M.A. Thami,
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta
Rajawali Pers, 2014)Ed- 1 cet ke-4 hal.
24
[8] H.M.A. Thami,
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta
Rajawali Pers, 2014)Ed- 1 cet ke-4 hal.
25
[9] H.M.A. Thami,
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap ( Jkarta
Rajawali Pers, 2014)Ed- 1 cet ke-4 hal.
26
[10] Lihat Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahit wa Nihayah Al-Mujtahit, (Beirut : Dar al-Fikr,t.t.),
Juz 2, hlm. 37.
[11] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah,
Terj. Moh. Thalib, (Bandung: Al-Ma’arif, Juz. 6, 1990).
No comments:
Post a Comment